Perubahan pola musim dan ketersediaan air bagi pertanian di Indonesia saat ini menjadi perhatian utama, terutama karena dipengaruhi oleh pemanasan global. Fenomena perubahan cuaca yang ekstrem, seperti banjir dan kekeringan, semakin sering terjadi dan memberikan dampak yang signifikan bagi sektor pertanian di tanah air.
Menurut Dr. Mulyanto, seorang ahli meteorologi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), “Perubahan pola musim yang terjadi akibat pemanasan global telah menyebabkan peningkatan suhu udara secara keseluruhan. Hal ini berdampak pada siklus hujan dan kemarau yang menjadi tidak teratur, sehingga petani mengalami kesulitan dalam menentukan waktu tanam dan panen.”
Ketersediaan air menjadi kunci utama dalam pertanian, namun dengan perubahan pola musim yang tidak menentu, petani seringkali mengalami kesulitan dalam mengakses air untuk irigasi. Hal ini juga diperparah dengan penurunan kualitas air akibat perubahan iklim yang menyebabkan kenaikan suhu dan peningkatan intensitas hujan asam.
Menurut data dari Kementerian Pertanian, sekitar 40% lahan pertanian di Indonesia mengalami tekanan akibat perubahan pola musim dan ketersediaan air yang tidak stabil. Hal ini mengakibatkan penurunan produksi tanaman pangan, seperti padi, jagung, dan kedelai, yang merupakan sumber utama pangan bagi masyarakat Indonesia.
Dalam menghadapi tantangan ini, perlu adanya kerjasama antara pemerintah, petani, dan para ahli untuk mencari solusi yang tepat. Dr. Susanti, seorang pakar pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB), menyarankan agar petani menggunakan teknologi irigasi yang ramah lingkungan, seperti drip irrigation, untuk mengatasi masalah ketersediaan air.
Pemerintah juga perlu meningkatkan pengawasan dan pengelolaan sumber daya air secara berkelanjutan, serta memberikan edukasi kepada petani mengenai praktik pertanian yang ramah lingkungan. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan pertanian di Indonesia dapat tetap berkelanjutan meskipun terjadi perubahan pola musim akibat pemanasan global.